Kitab Pentiing Karya Syeh Nawawi AL-Bantani



berapa pekan lalu, di penghujung bulan Syawwal, kembali diperingati haul ulama besar kebang­gaan masyarakat muslim Indonesia, wabil khusus muslimin Banten. Bagi
masyarakat di pesisir barat Pulau Jawa ini, sang ulama, yang dijuluki para ulama Al-Azhar Mesir sebagai “Sayyid Ulama Hijaz”, adalah tokoh yang sangat di­hormati. Sehingga peringatan haulnya yang ke-118 itu dihadiri lebih dari 25.000 orang.

Syaikh Nawawi Banten (1230-1314 H/1813-1897 M) atau Syaikh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani Asy-Syafi’i adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mu­karramah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah mu­ridnya, Syaikh Ahmad Khatib Minang­kabau dan Syaikh Mahfudz Termas.


Nama lengkapnya Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi bin Ali Al-Bantani Asy-Syafi’i Al-Qadiri. Ia lahir di Tanara, Serang, Banten, pada tahun 1230 H/ 1813 M. Ayahnya seorang tokoh agama yang sangat disegani. Ia punya hubungan nasab dengan Sultan Hasanuddin bin Maulana Syarif Hida­yatullah atau Sunan Gunung Jati (Cirebon).
Syaikh Nawawi Al-Bantani memang sosok cerdas sejak kecil. Pada masa kanak-kanaknya, bersama dua saudara kandungnya, Tamim dan Ahmad, ia memperoleh pengetahuan dasar dalam bahasa Arab, fiqih, dan tafsir, langsung dari ayahnya, Umar bin Arabi, yang juga dikenal sebagai ulama.
Proses pendidikan lebih intensif di­perolehnya dari Kiai Sahal Banten dan Kiai Yusuf Purwakarta, yang memiliki banyak santri dari Jawa, terutama Jawa Barat dan Banten.

Pada usia 15 tahun, Nawawi muda belajar ke Tanah Suci Makkah, karena saat itu Indonesia, atau Hindia Belanda, tengah dijajah oleh Belanda, yang mem­batasi kegiatan pendidikan di Nusantara. Nawawi muda tidak saja belajar di Makkah. Ia melakukan rihlah ilmiyyah ke Madinah, Syam, Mesir, dan Dagestan, untuk menyambangi para ulama dan berguru kepada mereka. Di antara guru-gurunya ialah Syaikh Sayyid Ahmad An-Nahrawi, Syaikh Ahmad Ad-Dimyathi, Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Abdushshomad Al-Falimbani, Syaikh Yusuf As-Sunbulawini, Syaikh Muhammad Hasbullah, Syaikh Muham­mad Khathib Al-Hanbali, Syaikh Umar Al-Biqa’i, Syaikh Yusuf Ad-Daghistani, Syaikh Abdul Hamid Asy-Syarwani.

Beberapa tahun setelah menimba ilmu dan mengajar di Makkah, ia kembali ke Indonesia untuk mengajarkan ilmu­nya kepada masyarakat tempat kelahir­annya. Namun ia tak lama mengajar. Ha­nya tiga tahun ia di kampung halaman­nya, karena kondisi penjajahan Belanda, yang membuat ia tidak bebas berakti­vitas. Ia pun kembali ke Makkah dan mengamalkan ilmunya di sana, terutama kepada orang Indonesia yang belajar di sana.
Syaikh Nawawi wafat pada 25 Syaw­wal 1314 H/1897 M, di Syi’ib Ali Makkah, dalam usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la, dekat makam Syaikh Ibn Hajar Al-Haitami, Sayyidah Asma binti Abubakar Ash-Shiddiq RA, dan Syaikh Arsyad Al-Qashir Al-Bantani.

Sangat Produktif Menulis
Syaikh Nawawi Al-Bantani adalah penulis yang sangat produktif dan ulama yang memiliki pengetahuan multidi­men­si. Menurut catatan beberapa muridnya dan generasi murid selanjutnya, tidak kurang dari 115 karya yang ditulisnya dalam berbagai cabang ilmu keislaman. Melalui kitab-kitabnya, ia merefleksikan pandangan dan fatwanya. Dan kitab-kitab itu menempatkan posisi teratas kitab-kitab paling berpengaruh dalam kurikulum pesantren-pesantren di Nu­santara maupun majelis-majelis keilmu­an Islam lainnya hingga kini. Maka pan­taslah, para ulama dan cendekiawan mus­lim menempatkannya sebagai ba­pak gerakan intelektual Islam di Nusan­tara.

Syaikh Nawawai Banten punya penga­ruh besar di kalangan masyarakat Nu­san­tara dan generasi berikutnya melalui pengikut dan tulisannya. Tak kurang, orientalis Dr. C. Snouck Hurgronje me­mujinya sebagai orang Indonesia yang paling alim dan mengamalkan kealim­an­nya.
Ia menulis dalam bahasa Arab. Be­berapa karyanya merupakan syarah atas kitab yang telah digunakan di pe­san­tren serta menjelaskan, melengkapi, dan terkadang mengoreksi matan yang disyarah.
Sejumlah syarahnya benar-benar meng­gantikan matan asli dalam kuri­kulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya masih beredar dan 11 kitabnya paling banyak digunakan di pesantren.
Syaikh Nawawi Banten berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren. Ia memperkenalkan dan menafsirkan kembali warisan intelektualnya dan memperkayanya dengan menulis karya baru berdasarkan kitab yang belum dikenal di Indonesia pada zamannya.
Dalam hal jaringan keilmuan, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, K.H. Muhammad Hasyim Asyari, Syaikhuna Khalil Bangkalan, K.H. Raden Asnawi, dan K.H. Tubagus Asnawi, menjadi penebar ajarannya yang sangat berpe­ngaruh di Nusantara.

Karya monumentalnya antara lain Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil. Sayyid Ulama Hijaz ini menyandarkan sumber-sumber rujukan pada beberapa kitab tafsir yang mu’tamad, seperti Tanwir Al-Miqbas, karya Al-Imam Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuzabadi Asy-Syirazi Asy-Syafi’i (w. 817 H/1414 M), Abi Su’ud, karya Imam Abi Su’ud Muhammad bin Muhammad Al-’Amadi (w. 951 H/1545 M), Al-Futuhat Al-Ilahiyyah, karya Al-’Allamah Sulaiman bin Umar Al-’Ujaili Asy-Syafi’i (w.1204 H/1789 M), Mafatih Al-Ghayb, karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razi, dan As-Siraj Al-Munir karya Al-Khathib Muhammad bin Ahmad Asy-Syarbini.
Selain itu, masih banyak lagi karya lainnya, seperti Bahjah al-Wasa-il, Qami’ ath-Thughyan, At-Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil, Kasyf al-Mirwathiyah, Tanqih al-Qawl al-Hatsits, Targhib al-Musytaqin, Fath ash-Shamad al-‘Alam, Fath al-Majid, Fath al-Mujib, Mirqat Shu’ud at-Tashdiq, Al-Futuhat al-Madaniyyah, Naqawah al-‘Aqidah, Suluk al-Jadah, Ar-Riyadh al-Fuliyah, Mish­bah azh-Zhalam, Al-Ibriz ad-Dani, Bugh­yah al-‘Awam, Ad-Durar al-Bahiyyah.

Tsalatsah Kutub Mufidah
Masih banyak karya Syaikh Nawawi Al-Bantani yang belum banyak diketahui orang. Dalam senarainya boleh saja disebutkan, namun tentunya perlu pem­buktian di manakah karya-karya itu.
Salah satu langkah ilmiyyah telah dilakukan oleh Ma’had ‘Aliyy Al-Arba’in Jakarta, yang diasuh Almaghfurlah Hadhratusy Syaikh Al-Mu’allim K.H. Muhammad Syafi’i Hadzami beberapa tahun yang lalu. Berkat kegigihannya dan sejumlah murid senior yang dimotori Ustadz H.M. Fachruddin Al-Bantani, didapati beberapa salinan naskah me­lalui proses pencarian dan perburuan ki­tab-kitab Syaikh Nawawi, yang kemudi­an ditulis ulang oleh sang murid. Maka, jadilah sebuah kumpulan kitab yang diberi judul Majmu’ah Tsalatsah Kutub Mufidah (Kumpulan Tiga Kitab yang Berguna).
Dalam kitab tersebut, dimuat tiga karya Syaikh Nawawi yang baru ditemu­kan, yakni kitab Al-‘Iqd ats-Tsamin, kitab An-Nahjah al-Jayyidah, dan kitab Hilyah ash-Shibyan.

Dalam muqaddimahnya, Mu’allim Syafi’i Hadzami mengutarakan keutama­an ulama di sisi Allah SWT, Rasulullah SAW, dan umat ini sepanjang zaman. Para ulama itu memiliki berbagai karak­ter: mereka yang berdakwah, mereka yang menulis kitab, mereka yang dikenal dengan keshalihan dan akhlaqnya yang terpuji, mereka yang mendidik akhlaq manusia, mereka yang mengajar dan menyampaikan fatwa, dan mereka yang benar-benar menghabiskan usianya demi kemashlahatan kehidupan beraga­ma umat. Hanya sedikit ulama yang me­miliki karakter paripurna sebagaimana disebutkan. Dan di antara yang sedikit itu adalah Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, pemimpin ulama Hijaz, yang menebarkan keharuman negeri Jawa (Indonesia) dan penduduknya ke sean­tero dunia Islam lewat perannya.

Menurut Mu’allim Syafi’i Hadzami, beberapa karya Syaikh Nawawi me­mang ada yang tercetak luas dan di­ketahui khalayak, namun ada juga karya-karyanya yang hanya dicetak dan ter­simpan di kalangan murid-muridnya, se­perti ketiga kitab yang disebutkan di atas.
Kitab yang pertama, Al-‘Iqd ats-tsa­min, berukuran sedang, berisi ulasan atas kitab Manzhumah as-Sittin Mas’alatan al-Musamma bi al-Fath al-Mubin, karya Syaikh Mushthafa bin Utsman Al-Jawi Al-Qaruti (Garut).

Sebagaimana kitab matannya (na­zham), kitab ini ditulis dalam bahasa Arab. Kitab ini mengulas pemahaman-pemahaman aqidah dan fiqih dalam Madzhab Syafi’i. Penyebutan 60 masa­lah hanyalah sebagai penyebutan ba­nyak­nya hal yang patut dibahas, sehing­ga memudahkan para pelajar pemula un­tuk menghafal nazham dan mema­hami­nya. Masalah-masalah fiqih yang disebut­kan dalam kitab ini seputar istin­ja‘, berwudhu, mandi, hadats, tayam­mum, shalat, zakat, puasa, haji, dan umrah.

Yang menarik juga, si pengarang ki­tab matan, yakni Syaikh Mushthafa, menjelaskan dalam satu fashal tersendiri masalah memukul bedug untuk mem­beritahukan masuknya waktu shalat dan pelaksanaan shalat Jum’at yang ja­ma’ah­nya tidak mencapai bilangan minimal, yakni 40 orang.
Kitab yang kedua, An-Nahjah al-Jayyidah, merupakan syarah atas kitab karya Syaikh Nawawi yang lain, Naqa­wah al-‘Aqidah. Sebagaimana judulnya, kitab ini membahas masalah rukun iman dan masalah-masalah aqidah lainnya. Umpamanya ketika membahas keharus­an beriman dengan ‘arasy, Syaikh Na­wawi menyebutkan bentuk ‘arasy seba­gai sebuah bangunan fisik yang besar, penuh cahaya, berada dalam ketinggian, berbentuk seperti kubah di atas alam semesta yang memiliki empat pilar yang disangga malaikat di dunia dan delapan pilar yang disangga malaikat di akhirat. Syaikh Nawawi menjelaskan dengan terperinci, sehingga memudahkan pem­bacanya untuk memantapkan keyakinan atas adanya arasy.

Kitab matannya, An-Naqawah, terdiri dari 36 bait, sehingga memudahkan pel­ajar untuk mendendangkan dan meng­hafalkannya. Kitab ini ditulis Syaikh Nawawi pada tahun 1300 H/1883 M. Kitab yang ketiga, Hilyah ash-Shibyan, merupakan syarah atas se­buah risalah berjudul Fath ar-Rahman fi Tajwid al-Qur‘an. Syaikh Nawawi me­ngatakan bahwa penulis kitab aslinya tidak diketahui. Akan tetapi ada tulisan hasyiyah yang ditulis Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dengan judul Manhal al-‘Athsyan. Hasyiyah ini saat itu dibagikan kepada para pelajar dan anak-anak Makkah.

Sekalipun menisbahkannya kepada kitab Fath ar-Rahman tersebut, Syaikh Nawawi Banten juga mengutip dari beberapa kitab lainnya, seperti kitab karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan tersebut, kemudian Kitab Ad-Daqa-iq al-Muhakkamah, karya Syaikh Al-Islam Zakariyya Al-Anshari, Fath al-Aqfal, karya Syaikh Sulaiman Al-Jamzuri, kitab Al-Mawahib al-Makkiyyah, karya Syaikh Ahmad Al-‘Afif bin Ahmad Ad-Dahhan, dan lain-lain.

Kitab ini membahas masalah ilmu tajwid, mulai dari makharij al-huruf (tempat keluar huruf dari mulut) hingga bahasan izhhar, ikhfa, idgham, iqlab, tafhim, tarqiq, qalqalah, mad, dan waqf.
Dalam penutupnya, Syaikh Nawawi menekankan pentingnya seorang qari untuk mempelajari dengan seksama waqaf Jibril, yaitu bacaan yang dibaca dengan berhenti (waqaf) pada satu bagi­an ayat, sebagaimana yang dibacakan Malaikat Jibril saat menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW, seperti berhenti pada bacaan dalam surah Ali Imran, “Qul shadaqallah...”, lalu dilanjutkan “fattabi’u millata ibrahima hanifa”. Begitulah Nabi Muhammad SAW mengikuti cara bacaan Malaikat Jibril tersebut.

Demikianlah, ketiga karya ini menun­jukkan keluasan pengetahuan dan ba­hasan yang dijabarkan Syaikh Nawawi Al-Bantani. Penjelasan-penjelasannya ditujukan demi kemudahan para pen­cinta ilmu dalam memahami kitab-kitab matan, sehingga mereka beroleh pema­haman yang mudah dan sempurna se­suai isi kandungannya.











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Nahwu Seri 3

Belajar Jawahirul Maknun- Tentang Fashohah,Tanafur,Ta'qid

Surah at Takatsur 102