Masalah Biasa Cak Nun Membuat Kita Lebih Berpikir,


Polemik mengenai pernyataan Cak Nun soal kucuran dana pemerintah 1,5 Triliun ke PBNU yang  jadi obrolan di sosmed bikin saya geleng-geleng. Oh ya, saya nggak menyebutnya sebagai  "bantuan", ya. Bagaimanapun, duit negara adalah milik rakyat. Kalau dikembalikan lagi ke rakyat, mosok disebut "bantuan"? Namakan saja itu dana pembangunan, pemberdayaan atau istilah sejenisnya. Kata "bantuan" itu nggak cocok. 

Saya bukan santri yang pernah mondok di pesantren. Hanya sering menyimak pengajian-pengajian dari kyai-kyai NU. Kalau Maiyahan, sempat mampir beberapa kali. Tepatnya di Kenduri Cinta, Jakarta. Sebab pada dasarnya saya senang baca buku-buku Cak Nun dari tahun 90-an. 

Walaupun kayaknya, saya belum cocok juga disebut Jamaah Maiyah karena nggak rutin hadir. Tapi saya cinta NU serta Maiyah. Alasannya sederhana: keduanya adem. Jadi, anggaplah saya sebagai gelandangan lugu yang gemar memulung ilmu di tempat yang sejuk-sejuk. 

Balik lagi ke soal polemik tadi. Sebagai orang berotak cekak yang nggak terbiasa mikir rumit, saya jadi deleg-deleg. Kok jadi ruwet? Padahal kan tinggal ditelusur. Beritanya ada kan? Lagipula, dalam video yang sudah viral itu, arah pernyataan Cak Nun sangat jelas kok. Ini soal ajakan untuk rukun. Jangan mau dipecah-belah.

Namun beberapa orang agaknya nggak bisa jernih menangkap pernyataan itu. Reaksioner. Sampai ada yang berpendapat bahwa Cak Nun memojokkan PBNU atau bahkan NU. Saya rasa pendapat tersebut berlebihan, bahkan kejam. Ada juga yang menyimpulkan bahwa Cak Nun menuduh NU jual diri ke pemerintah. Sungguh kesimpulan yang keterlaluan dan tidak berdasar. 

Bahkan, ada yang menyangka, Cak Nun telah menuduh PBNU berada dibalik pembubaran HTI. Itu sangkaan yang keblinger. Beberapa bahkan merespon dengan membongkar-bongkar wilayah pribadi Cak Nun dan menyebut beliau dengan label-label sinis, demi bisa menyerang. Menyedihkan! 

Ayo dong, mosok begitu cara menanggapi masalah? Yang bermartabat dong! Bagaimanapun, Cak Nun adalah orang tua yang harus kita hormati. Toh sampeyan juga nggak berani hidup seperti beliau, nyaris tiap hari keliling Indonesia untuk menyapa dan nemenin rakyat kecil, ya tho? 

Ayolah yang lebih dewasa dikit. Lha wong kyai-kyai NU saja tetap berangkulan sama Cak Nun, kok sampeyan malah nyerang. Kalau kayak gini terus, siapapun yang menginginkan Islam Indonesia tercerai-berai, pasti bersorak. Bandar menang! 

Kenapa nggak gini saja sih. Coba tanyakan ke PBNU soal kejelasan dana itu. Kalau memang benar mereka menerima, ya nggak apa-apa. Kan uang rakyat juga. Toh nantinya juga akan dipergunakan untuk kesejahteraan umat. Hanya saja, boleh dong Nahdliyin ikut mengawasi? 

Untung-untung, jika pengurusnya mau mengunggah data pertanggungjawaban uang tersebut ke internet, sehingga publik bisa mengaksesnya dengan mudah. 

Untuk orang-orang yang marah dengan pernyataan Cak Nun, lebih baik menggunakan energinya untuk membuktikan bahwa Cak Nun salah. Lebih terhormat lagi, kalau sampeyan mau dolan ke Kadipiro, ke rumah Maiyah, ngobrol langsung sama beliau. Ndak cuma main status facebook atau tweet. Enak, kan? Selain ksatria, langkah perjuangannya juga jelas: datangi, tabayyun! Selesaikan dengan elegan. 

Kalau Cak Nun terbukti salah, nanti tinggal diurus tuh mekanisme klarifikasinya. Bisa mendesak Cak Nun untuk minta maaf atau jalan sejenisnya. Tentu saja dengan cara-cara yang lebih bermartabat. 

Semestinya, setelah kejadian ini, Nahdliyin harus mulai tergugah untuk mengawasi kinerja PBNU. Biar NU terjaga kebersihannya dan tetap menjadi rumah yang adem bagi sebagian besar Umat Islam Indonesia. Begitu pula dengan Maiyah, tetap menjadi lingkaran yang menyejukkan bagi siapa saja yang merapat. Ayo rukun! 

Oleh : Fahrudin Husaini 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Nahwu Seri 3

Belajar Jawahirul Maknun- Tentang Fashohah,Tanafur,Ta'qid

Surah at Takatsur 102