Pemahaman Sesat Tentang Tauhid Rububiah Dan Uluhiyah Menurut Wahabi (bag 1)

kaumpesantren.com
Tauhid Rububiyyah.
Mari kita mulai dengan pembahasan singkat tauhid rububiyyah, yang menjelaskan kata ar-Rabb dengan arti Pencipta, hal ini sangat jauh dari apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an. Sebenarnya arti kata ar-Rabb didalam bahasa dan didalam Al-Qur’an al-Karim tidak keluar dari arti “ Yang memiliki urusan pengelolaan dan pengaturan”. Makna umum in
i sejalan dengan berbagai macam ekstensi (mishdaq)-nya, seperti pendidikan, perbaikan, kekuasaan, dan kepemilikan. Akan tetapi, kita tidak bisa menerapkan kata ar-Rabb kepada arti Penciptaan, sebagaimana yang dikatakan oleh golongan Wahabi/Salafi. Untuk membuktikan secara jelas kesalahan ini, marilah kita merenungkan ayat-ayat berikut ini, supaya kita dapat menyingkap arti kata ar-Rabb yang terdapat didalam Aal-Qur’an:

Surat Al Baqarah (2) : 21: “Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu.”

Dalam surat Al Anbiyaa (21) : 56: “Sebenarnya Rabb kamu ialah Rabb langit dan bumi yang telah menciptakannya “.

Jika kata ar-Rabb berarti Pencipta maka ayat-ayat diatas tidak diperlukan penyebutan kata yang telah menciptakanmu atau kata yang telah menciptakannya. Karena jika tidak, maka berarti terjadi pengulangan kata yang tidak perlu. Jika kita meletakkan kata al-Khaliq (Pencipta) sebagai ganti kata ar-Rabb pada kedua ayat di atas, maka tidak lagi diperlukan penyebutan kata yang telah menciptakanmu dan kata yang telah menciptakannya. Sebaliknya, jika kita mengatakan bahwa arti kata ar-Rabb adalah Pengatur atau Pengelola, maka disana tetap diperlukan penyebutan kata yang telah menciptakanmu dan kata yang telah menciptakannya. Sehingga dengan demikian, makna atau arti ayat yang pertama diatas ialah “sesungguhnya Zat yang telah menciptakanmu adalah pengatur urusanmu”, sementara arti pada ayat yang kedua ialah “Sesungguhnya pencipta langit dan bumi adalah penguasa dan pengatur keduanya “.

Adapun bukti-bukti yang menunjukkan kepada makna ini banyak sekali, namun tidak perlu diungkapkan dibuku ini karena akan membutuhkan cukup waktu untuk menjelaskannya secara rinci.Oleh karena itu, perkataan Muhammad Ibnu Abdul-Wahhab yang berbunyi “Adapun tentang tauhid rububiyyah, baik Muslim maupun Kafir mengakuinya” adalah perkataan yang tanpa dasar, dan jelas-jelas ditentang oleh nash-nash Al-Qur’an, yang firman-Nya:”Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu.” (QS. al-An’am: 164). Firman Allah swt. kepada Rasul-Nya ini tidak lain berarti agar beliau menyampaikan kepada kaumnya sebagai berikut: ‘Apakah engkau memerintahkan aku untuk mengambil Rabb (Tuhan) yang aku akui pengelolaan dan pengaturannya selain Allah, yang tidak ada pengatur selain-Nya sebagaimana engkau mengambil berhala-berhalamu dan mengakui pengelolaan dan pengaturannya’.

Jika semua orang-orang kafir mengakui bahwa pengelolaan dan pengaturan hanya semata-mata milik Allah –sebagai mana dikatakan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab– maka ayat Al-An’am itu tidak mempunyai arti sama sekali, sehingga hanya menjadi sesuatu yang sia-sia, na’udzu billah. Karena setiap manusia –berdasarkan sangkaan Muhammad bin Abdul Wahhab ini– baik muslim maupun kafir, semuanya mentauhidkan Allah didalam rububiyyahnya, maka tentu mereka tidak memerintahkan untuk mengambil Rabb selain Allah. Juga zaman sekarang yang kita lihat dan dengar sendiri banyak orang-orang kafir yang sama sekali tidak mengakui wujudnya/adanya Tuhan, apalagi mentauhidkan-Nya!

Terdapat juga ayat yang berkenaan dengan seorang yang beriman dari kalangan keluarga Fir’aun. Allah swt. berfirman didalam surat al-Mukmin [40]:28: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia mengatakan, ‘Rabbku ialah Allah’, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu”. Demikian juga, berpuluh-puluh ayat lainnya menguatkan bahwa kata ar-Rabb bukanlah berarti Pencipta, melainkan berarti Pengatur, yang di tangan-Nya terletak pengaturan segala sesuatu. Kata ar-Rabb dengan arti ini (yaitu Pencipta), sebagaimana ditekankan oleh ayat-ayat Al-Qur’an, tidak menjadi kesepakatan diantara anggota manusia. Muhammad bin Abdul Wahhab telah menukil pemikiran ini dari Ibnu Taimiyyah tanpa melalui proses pengkajian, sehingga bahaya yang ditimbulkannya atas kaum Muslimin sangat besar. Ibnu Taimiyyah tidak mengeluarkan pemikiran ini dari kerangka ilmiah. Berbeda dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, yang di tunjang oleh keadaan sehingga bisa melaksanakan pemikiran ini pada tataran praktis dan menerapkannya pada kaum Muslimin. Maka hasil dari semua ini ialah, mereka mudah mengkafirkan madzhab lain selain madzhab Wahabi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Nahwu Seri 3

Belajar Jawahirul Maknun- Tentang Fashohah,Tanafur,Ta'qid

Surah at Takatsur 102